BEKAL PARA DAI #LANJUTAN BAG PERTAMA#

146 Pembaca

Kelas XI IPA & Agama

lanjutan Bekal Pertama Bagi Para Dai

Tiga ilmu yang wajib dikuasai para dai

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد

رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙوَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ ۙوَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙيَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ. آمين

Pertama marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan berbagai macam kenikmatan-kenikmatan yang sangat banyak kepada kita semua.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyampaikan risalah Allah subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepadanya sehingga kita bisa merasakan manisnya Iman dan Islam.

Amma ba’du…

Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan tiga perkara penting yang wajib dimiliki seorang dai supaya dai tersebut bisa berdakwah dengan baik di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat di mana dai itu tinggal.

Para dai memiliki peran dan tugas yang sangat strategis, penting dan berpotensi pahala sangat besar. Supaya tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maksimal dan semakin banyak pahala yang diperoleh karena dakwahnya diterima di tengah-tengah masyarakat, seorang dai harus memiliki tiga macam ilmu dasar, yang ketiga macam ilmu ini -setelah pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala- sangat mempengaruhi diterima atau tidak dakwahnya di tengah-tengah mereka.

Artinya jika seorang dai menguasai ketiga ilmu ini dengan baik maka dakwahnya insyaallah akan diterima di tengah-tengah masyarakat luas, memang dalam berdakwah tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan pengikut yang banyak, namun ketika seorang dai mampu memiliki pengikut yang banyak, hal itu merupakan sebuah keutamaan untuk dirinya.

Dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 108 Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam supaya menyampaikan bahwa beliau berdakwah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala berdasarkan basyiroh,

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. سورة يوسف: 108

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan bukti yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.” QS: Yusuf: 108.

Apa yang dimaksud dengan basyiroh dalam ayat tersebut?

Basyiroh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah petunjuk (petunjuk dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala), sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut,

عن قتادة بن دعامة -من طريق سعيد- في قوله: ((على بصيرة)) أي: (على هُدًى) أنا ومن اتبعني. أخرجه ابن أبي حاتم 7/ 2209. وعزاه السيوطي إلى ابن جرير. موسوعة التفسير المأثور، إعداد: مركز الدراسات والمعلومات القرآنية، : المشرفون: أ. د. مساعد بن سليمان الطيار – د. نوح بن يحيى الشهري: 11/803

Dari Qatadah bin Di’amah -dari jalur (riwayat) Said- (maksud) firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala على بصيرة adalah di atas petunjuk, Aku dan orang-orang yang mengikutiku. HR: ABu Hatim, Juz: 07/2209.

Seorang dai ketika berdakwah harus berdakwah berdasarkan petunjuk dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wa Sallam, tidak boleh berdakwah seenaknya sendiri, berdakwah di atas petunjuk itu meliputi tiga macam ilmu, ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengilmui dengan benar apa yang akan disampaikan

Seorang dai harus mengetahui dengan baik dan benar hukum-hukum syar’i yang akan disampaikan kepada para mad’unya, jangan sampai seorang dai berdakwah mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu yang dia katakan wajib tapi ternyata sesuatu itu tidak wajib, sehingga dia salah, dia mewajibkan sesuatu kepada orang lain ternyata sesuatu itu hukumnya sunah, mustahab atau mubah, akhirnya dia terjatuh pada sesuatu yang fatal mewajibkan kepada orang lain sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau malah melarang seseorang melakukan sesuatu yang dia anggap haram ternyata sesuatu itu tidak diharamkan dalam Islam, sehingga dia mengharamkan orang lain sesuatu yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Intinya ketika hendak berdakwah seorang dai harus membekali diri dengan ilmu terlebih dahulu, ilmu tentang hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini dengan baik dan mampu memverifikasi kebenaran ilmu tersebut, supaya tidak salah dalam menyampaikan sesuatu.

Supaya ketika dia mengajak orang lain melakukan sesuatu dia yakin bahwa sesuatu yang disampaikan itu merupakan sebuah kebenaran yang harus diikuti baik hukumnya wajib, sunah, mustahab, mubah atau yang lain.

Demikian juga supaya ketika seorang dai melarang orang lain melakukan sesuatu dia tahu betul bahwa sesuatu itu memang benar-benar dilarang dalam syariat Islam, baik hukumnya haram atau pun makruh.

Kedua: Mengilmui keadaan mad’u

Mengilmui (mengetahui) kondisi mad’u, pengetahuan seorang dai tentang kondisi mad’u akan sangat mempengaruhi keberhasilan dakwahnya, karena ketika seorang dai mengetahui kondisi mad’unya dia akan mampu menyesuaikan diri dalam meyampaikan dakwahnya, apa yang sebaiknya disampaikan pada saat ini, apa yang sebaiknya ditunda untuk disampaikan atau bahkan apa yang tidak perlu disampaikan, sebab tidak semua yang diketahui oleh dai itu harus disampaikan pada saat itu juga dia harus bisa memilih mana yang paling penting dan sesuai untuk disampaikan dan mana yang bisa ditunda untuk disampaikan, pemilihan materi tersebut bisa dilakukan dengan baik jika dai itu mengetahui dengan baik kondisi mad’u.

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu ke Yaman, beliau memberitahukan terlebih dahulu kondisi masyarakat Yaman pada saat itu kepadanya, supaya Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dalam berdakwah bisa melakukannya dengan cara yang bijak menyesuaikan kondisi masyarakat tersebut, Beliau berkata kepadanya,

إِنَّكَ سَتَأتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ

Sesungguhnhya engkau akan mendatangi satu kaum (yang mereka) adalah ahli kitab.”

Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menyampaikan hal tersebut kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu supaya dia mempersiapkan diri secara matang untuk menghadapi mereka.

Seorang dai harus mengetahui kondisi mad’u, bagaimana tingkatan pendidikan mereka? dan bagaimana tingkat kemampuan mereka dalam membantah? sehingga dai tersebut sudah mempersiapkan segalanya terlebih dahulu sehingga ketika mendapat pertanyaan atau sanggahan bisa menjawabnya dengan baik dan benar.

Sebab jika seorang dai mengalami hal tersebut (mad’u bertanya atau mendebatnya) sementara sang dai tidak mampu membantahnya bahkan kalah telak dengan bantahan mereka, hal ini dapat menimbulkan musibah yang besar bagi agama ini dan dai itulah yang menjadi penyebabnya.

Jangan pernah seorang dai mengira bahwa ahli kebatilan itu pasti akan kalah dengannya ketika berdebat, belum tentu… bahkan bisa jadi pendebat itu lebih lebih lentur lidahnya dari sang dai sehingga dia bisa memenangkan perdebatan itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam salah satu hadisnya,

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ وَلَعَلّى بَعْضَكُم أَنْ يَكُوْنَ ألْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ بِنَحْوِ مِمَّا أَسْمَعُ. رواه البخاري: 6634

“Kalian sering mengadukan sengketa kepadaku bisa jadi salah seorang di antara kalian ada yang lebih pandai berbicara daripada sebagian lainnya, sehingga aku memutuskan sesuai apa yang aku dengar.” HR: BUkhori 6634.

Hadis ini menunjukkan terkadang orang yang sedang berseteru dan mengadukan perseteruan itu salah satunya lebih pandai dalam berbicara sehingga dia bisa memenangkan perseteruan itu meskipun dia berada di pihak yang salah

Dari hadis ini bisa ditarik kesimpulan, terkadang orang yang berdebat meski pun di atas kebatilan dia bisa memenangkan perdebatan itu disebabkan karena kepintarannya dalam berbicara. oleh karena itu seorang dai harus membekali diri dengan ilmu yang luas termasuk mengetahui keadaan para mad’unya.

Ketiga: Mengilmui cara berdakwah yang baik dan benar

Mengetahui cara berdakwah yang benar merupakan modal dasar yang sangat penting untuk para dai, dai yang mengetahui cara berdakwah dengan baik dan benar akan sangat mudah untuk menyampaikan apa yang ingin dia dakwahkan dan kemungkinan besar apa yang dia sampaikan akan diterima oleh para mad’unya, dalam Al-Quran Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ. سورة النحل: 125

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” QS: AN-Nahl: 125.

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajarkan kepada seorang dai supaya berdakwah ke jalan-Nya dengan cara yang bijak, penuh hikmah, dengan nasehat-nasehat yang menyentuh dan ketika memberikan sanggahan dia pun memberi sanggahan dengan cara yang lebih baik.

Tujuannya apa?

Tujuannya adalah supaya dakwah yang dia sampaikan bisa diterima oleh orang lain dan tidak malah menimbulkan mudhorot. karena orang akan merasa senang jika diajak dengan cara yang bijak, penuh hikmah dan nasehat yang menyentuh apalagi ketika disanggah, sanggahan tersebut diberikan dengan cara yang lebih baik.

Terkadang sebagian orang (dai) ketika melihat kemungkaran langsung main sikat, main serang, main cela dan main caci caci maki, tanpa memperhitungkan akibat buruk yang sangat mungkin bisa timbul dari sikapnya itu, yang sering akibat buruk itu bukan hanya dirasakan oleh sang dai itu saja tapi juga dirasakan oleh dai-dai lain yang sama-sama mendakwahkan kebenaran, padahal mereka tidak melakukan suatu yang buruk tapi terkena getahnya juga.

Oleh karena itu hendaknya seorang dai sebelum melakukan tindakan harus mempertimbangkan secara matang kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditimbulkan akibat tindakannya itu, apakah tindakannya itu memberikan dampak baik ataukah justru menimbulkan dampak buruk, kalau memang tindakannya itu menimbulkan dampak baik dai tersebut bisa melakukan tindakannya itu namun jika ternyata secara pertimbangan tindakannya itu bisa menimbulkan dampak buruk sebaiknya tindakan itu tidak perlu dilakukan.

Terkadang tindakan seorang dai dalam mengingkari kemungkaran secara frontal pada saat itu memang bisa memadamkam api ketidak sukaannya terhadap kemungkaran itu, tapi terkadang malah setelah itu bahkan dalam waktu singkat keinginannya atau keinginan dai-dai yang lain yang menggebu-gebu untuk mengingkari kemungkaran menjadi padam, sehingga tidak ada tindakan lagi.

Oleh karena itu hendaknya para dai berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil tindakan meskipun terlihat hasilnya lambat tapi insyaallah akan berakhir dengan lebih indah atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang dai memang selayaknya membekali diri dengan ilmu terlebih dahulu sebelum berdakwah, tentu ilmu yang berlandasakan pada kitabullah dan sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, termasuk ilmu bagaimana cara berdakwah supaya ketika berdakwah tidak asal-asalan, kalau seorang dai tidak mengetahui ilmu cara berdakwah bagaimana dia akan menyampaikan dakwah kepada para mad’unya, bagaimana pula seorang dai akan berdakwah jika tidak mengetahui ilmu apa yang akan didakwahkannya.

Kalau memang seseorang belum memiliki ilmunya hendaknya dia mempelajari ilmu tersebut terlebih dahulu sebelum terjun di medan dakwah, kemudian setelah mendapatkan ilmunya baru dia mulai berdakwah ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Jika ada orang yang nyeletuk mengatakan: “Perkataanmu ini bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Salalm yang memerintahkan supaya berdakwah, yaitu Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat?”

Jawab:

Perkataan itu sama sekali tidak bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam tersebut, karena beliau mengatakan “Sampaikanlah dariku”. jadi ketika seseorang ingin menyampaikan dakwah, maka apa yang dia sampaikan harus benar-benar terverifikasi benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, bukan sesuatu yang lain. Dan memang seperti inilah yang dimaksud dari pernyataan di atas, seorang dai harus menguasai ilmu yang benar terlebih dahulu sebelum berdakwah, itu pun bukan berarti dia harus menguasai terlebih dahulu semua cabang ilmu hingga ilmunya menjadi sangat luas seolah tidak terbatas, bukan begitu… inti dari pernyataan di atas adalah supaya seorang dai hanya menyampaikan apa yang diketahuinya saja dan tidak menyampaikan apa yang tidak diketahuinya.

Bersambung…

Maraji’:

Zadud du’ati lifadhilatisyaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ta’ala.

Abu Layla Turahmin, M.H.

Bin Baz Pusat, Rabu, 24 Juli 2024, 14.35.

Tinggalkan komentar