بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد.
Ikhwati fillah rahimani wa rahimakumullah jami’an yang Saya muliakan, yang pertama saya panjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu Wa Ta ‘ala yang telah melimpahkan nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Baik nikmat sehat, waktu luang, harta, keluarga dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak bisa disebutkan satu demi satu. Terutama nikmat iman dan Islam yang merupakan dua buah nikmat yang paling besar yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita, kedua nikmat tersebut wajib kita jaga dengan baik dan tidak boleh kita tukar dengan apa pun sampai kita meninggal dunia kelak.
Tidak lupa pula saya mengingatkan kepada diri saya pribadi dan kepada teman-teman sekalian untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala, sebagaimana perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ ala dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 197.
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ. سورة البقرة: 197
Berbekallah kalian semua (dengan bekal takwa) karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. (QS: Al-Baqoroh:197).
Kemudian shalawat dan salam kita sampaikan kepada Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.
Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pembahasan tentang Rukyah Sebagai Penentu Bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Rukyah artinya adalah melihat berasal dari kata [1]رَأَى – يَرَى – رَأيًا وَرُأْيَةً yang dimaksud dengan Rukyah dalam pembahasan ini adalah melihat hilal untuk menentukan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan, karena memang masuknya bulan Ramadhan ditandai dengan terlihatnya hilal (bulan sabit) pada akhir tanggal 29 sya’ban beberapa saat setelah matahari tenggelam. Apabila pada saat itu terlihat hilal maka telah masuk bulan Ramadhan namun jika hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan belum masuk dan masih bulan sya’ban tanggal 30 karena bulan sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari, demikian juga jika di akhir bulan Ramadhan pada tanggal 29 beberapa saat setelah matahari tenggelam terlihat hilal maka malam itu telah masuk bulan Syawal akan tetapi jika hilal tidak terlihat bulan Ramadhan digenapkan menjadi tiga puluh hari dan masuknya bulan Syawal setelah tanggal 30 Ramadhan. Dalam Al-Quran Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan fungsi hilal dalam surat Al-Baqarah 189,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ. سورة البقرة: 189
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Al-Baqarah: 189.
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hilal[2] sebagai petunjuk waktu dan penentu masuknya bulan baru sehingga kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah yang telah ditetapkan-Nya seperti, puasa, zakat, kafarat, waktu-waktu haji, pelunasan hutang, waktu iddah, hamil dan lain-lain yang menjadi kebutuhan umat manusia, Allah menjadikan hilal sebagai penentu waktu yang sangat mudah dipahami dan dikuasai setiap orang.
Penentuan masuk dan selesainya bulan Ramadhan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: “إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya (hilal) maka berbukalah, namun jika (hilal) tidak terlihat atas kalian (disebabkan mendung atas asap) maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban tiga puluh hari.” Muttafaqun ‘alaih.
“وَلِمُسْلِمٍ: “فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
Dalam Riwayat Muslim: “Jika (hilal) Tertutup atas kalian maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) tiga puluh hari.”
“وَلِلْبُخَرِي: “فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
Dalam riwayat Bukhori: “Maka sempurnakanlah bilangan (Sya’ban) tiga puluh hari.”
“وَلَهُ فِيْ حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: “فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ
Dalam riwayat Bukhori hadis dari Abu Hurairah: “Sempurnakanlah Sya’ban (menjadi) tiga puluh hari.”
Derajat Hadis
Hadis ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dikeluarkan Imam Bukhori dalam kitabnya Shiyam BAB Apakah disebut Ramadhan atau Bulan Ramadhan? Nomor 1900, dan Imam Muslim nomor: 1080/8 dari jalan ibnu Syihab berkata, Telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:… ia menyebutkan hadis tersebut.
Hadis riwayat Imam Muslim 1080/4 dari jalan Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Abdullah dari Nafi’ dari ibnu Umar radhiyallhu ‘anhuma dengan lafadz,
“فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِيْنَ”
فَاقْدُرُوا artinya genapkan hitungannya, yaitu tiga puluh hari.
Hadis riwayat Imam Bukhori 1907 dari jalan Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dengan lafadz,
“فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ”
Lafadz ini lebih jelas.
Adapun hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Imam Bukhori dalam BAB Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“إِذَا رَأَيْتُمُوْا الْهِلَالَ فَصُوْمُوا”
Dari jalan Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad, berkata, Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma…, beliau menyebutkan hadis ini yang di dalamnya ada lafadz,
“فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ”
Para Ulama membicarakan tambahan lafadz فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ, mereka berkata, Imam Bukhori meriwayatkan hadis itu sendiri tanpa diriwayatkan oleh Syaikhnya yaitu Adam, sementara riwayat terbanyak yang diriwayatkan dari Syu’bah mereka mengatakan,
فَعَدُّوا ثَلَاثِيْنَ
“Maka hitunglah tiga puluh (hari).”
Al-Isma’ili berkata, “Bisa jadi Adam meriwayatkannya berdasarkan tafsirannya sendiri.”
Penjelasan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan bahwa puasa Ramadhan wajib dikerjakan jika terlihat hilal pada bulan Ramadhan, dan wajib menghentikan puasa jika terlihat hilal pada bulan Syawal, sehingga dari sini bisa dipahami bahwa hukum mulai berpuasa dan berhenti berpuasa tergantung rukyatul hilal (terlihatnya hilal/bulan sabit) dengan mata baik dengan menggunakan teleskop ataupun hanya dengan mata telanjang karena pada hakekatnya sama-sama dilihat dengan mata.
Hadis ini juga sebagai dalil bahwa penentuan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan berdasarkan rukyatul hilal bukan berdasarkan hisab, sebagaimana yang dinukilkan dari Syaikhul Islam ibnu Tamiyah dan yang lainnya bahwa ijma’ para sahabat dalam menentukan hal tersebut berdasarkan rukyatul hilal, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukannya dengan rukyah bukan hisab, penetapan berdasarkan rukyah ini bisa dilakukan oleh setiap orang, orang khusus maupun orang awam, orang pandai maupun orang tidak pandai dan hal ini merupakan rahmat dan kemudahan yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka.
Hadis ini juga sebagai dalil apabila hilal tertutup mendung atau asap pada malam ke tiga puluh maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari dan tidak ada puasa pada hari ketiga puluh tersebut. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“فَاقْدُرُوا لَهُ”
Adalah tentukan hitungan bulan, sehingga bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari, berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
“فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ”
“Jika (hilal) tertutup maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”
Meskipun di sana ada sekelompok jama’ah dari madzhab hanabilah yang berpendapat wajib puasa pada hari yang ketiga puluh jika hilal tidak terlihat baik karena mendung ataupun asap sebagai bentuk kehati-hatian. Mereka menafsirkan lafadz hadis,
“فَاقْدُرُوا لَهُ”
Dengan makna sempitkanlah jumlah bilangan Sya’ban, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ، سورة الطلاق: 7
“dan orang yang disempitkan rezekinya.” QS: Ath-Thalaq: 7.
Makna qudiro dalam ayat tersebut adalah disempitkan atasnya, sehingga makna tadhyiq/disempitkan adalah jadikan bulan Sya’ban menjadi dua puluh sembilan hari.
Mereka mengatakan, “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan hadis ini dengan perbuatannya, beliau adalah perawi hadis ini dan tentu lebih tahu maksudnya.
Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, “Dahulu Abdullah (maksudnya Abdullah bin Umar) apabila bulan Sya’ban telah masuk hari ke dua puluh sembilan, beliau mengutus orang untuk melihat hilal, jika hilal terlihat berarti telah masuk bulan Ramadhan, namun jika hilal tidak terlihat dan tidak ada penghalang pandangan mata (baik awan maupun asap) pada keesokan harinya beliau tidak berpuasa, tapi jika ada pengalang pandangan mata berupa awan atau asap pada pagi harinya beliau berpuasa.”
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat pertama yaitu wajib tidak berpuasa pada hari ke tiga puluh jika hilal tidak terlihat karena terhalang awan/mendung atau asap sebagaimana penjelasan sebelumnya, penafsiran hadis dengan hadis lebih utama untuk dilakukan. Adapun perbuatan Ibnu Umar itu menyelisihi nash hadis, sementara perkataan sahabat jika menyelisihi nash maka perkataan sahabat itu tertolak karena itu hanya ijtihad dari sahabat tersebut, ijtihad bisa benar bisa juga salah, tentu tafsiran dan penjelasan pembuat syari’at (dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih didahulukan daripada tafsir dari selainnya. Ibnu Umar memiliki perbuatan-perbuatan yang menyendiri sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Qoyyim dan lainnya.
Wallahu A’lam Bishowab.[3]
Abu Layla Turahmin, Jum’at, 08 Maret 2024, Jam, 14.29.
[1] . Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal: 460.
[2] . Hilal (Bulan sabit) adalah bukti meyakinkan pergantian bulan. Setelah bulan sabit akhir bulan tampak tipis seperti pelepah kurma (surah Yāsīn [36]: 39) menjelang pagi, pada malam berikutnya bulan ‘mati’ (tidak tampak sama sekali), kemudian disusul tampaknya bulan sabit tipis sesaat setelah magrib. Itulah awal bulan yang digunakan untuk perhitungan waktu ibadah, seperti puasa Ramadan dan haji. (https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/2?from=189&to=286, Jumat, 08 Maret 2024, Jam, 09.41).
[3] . Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Mukhtarul Allam Fi syarkhi Bulughil Marram, Juz: 5, Hal: 11-13.