وَكُلَّمَا نَشَا عَنِ الْمَأْذُوْنِ
فَذَاكَ أَمْرٌ لَيْسَ بِالْمَضْمُوْنِ
Semua dampak dari perkara yang diizinkan
Maka dampak tersebut tidak ada ganti ruginya
Penjelasan:
Artinya jika seseorang melakukan sesuatu yang diizinkan untuk dilakukan oleh pembuat syariat maupun orang yang memerintahkannya dan dari perbuatan yang diizinkan itu muncul dampak dhaman (ganti rugi) jika dia melakukannya atas inisiatifnya sendiri, maka tidak ada kewajiban untuk ganti rugi.
Mafhum dari bait ini adalah orang yang melakukan sesuatu tanpa izin wajib menanggung ganti rugi atas perbuatannya itu jika perbuatan itu mengakibatkan kerugian, intinya akibat apa pun yang ditimbulkan dari sesuatu yang dilakukan yang telah mendapat izin hukumnya kembali kepada izin tersebut, demikian juga jika tidak mendapat izin hukumnya kembali kepadanya.
Contoh: Seseorang memotong tangan orang lain, dan mengakibatkan orang itu mati atau kehilangan sebagian anggota badannya, apakah akibat tersebut menjadi tanggungannya ataukah tidak?
Jawab: Jika memotong tangannya tersebut sebagai pelaksanaan dari hukuman qishash atau hukuman had, maka dampak dari hukuman tersebut bukan menjadi tanggung jawabnya, tapi jika perbuatannya itu dilakukan karena tindak kriminal maka orang tersebut bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya itu sekaligus tanggung jawab dari tindak kriminalnya.
Demikian juga jika seseorang menghalangi orang lain yang akan lewat di depannya sementara dia sedang shalat, kemudian perbuatannya ini mengakibatkan kematiannya atau hilangnya salah satu anggota tubuhnya, maka tidak ada kewajiban tanggung jawab mengganti rugi, karena perbuatannya itu mendapat izin dari pembuat syari’at. Namun jika perbuatannya itu dilakukan tanpa izin darinya atau dari pembuat syari’at kemudian mengakibatkan kerusakan, maka orang itu wajib bertanggung jawab ganti rugi.
Contoh lain: Jika seorang suami menggauli istrinya lalu mengakibatkan istrinya itu mandul, maka suami tidak ada kewajiban tanggung jawab ganti rugi, karena suami melakukan hubungan badan yang diizinkan.
Contoh lain: Jika seseorang meletakkan batu di jalan, atau membuat sumur kemudian mengakibatkan orang atau hewan menjadi celaka (mati, kehilangan anggota tubuhnya atau terluka), maka jika perbuatan itu (menaruh batu di jalan atau membuat sumur) mendapat izin dan untuk kemaslahatan kaum muslimin, maka orang tersebut tidak dibebani tanggung untuk ganti rugi akibat perbuatannya itu, tapi jika perbuatannya itu dilakukan sengaja untuk mencelakakan orang lain maka wajib bertanggung jawab dan mengganti rugi.
Kaidah yang mirip dengan kaidah ini adalah: manfaat dari ketaatan akan mendapat pahala, apalagi jika ketaatan tersebut tidak disenangi oleh jiwa, seperti mengakibatkan letih dan capai, bau mulut orang yang berpuasa tidak disukai oleh jiwa (tapi berpahala besar). Dan dampak kemaksiatan sesuai dengan kemaksiatan itu.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah orang yang marah dan kemarahannya itu dilakukan karena Allah subhanahu wa ta’ala, lalu kemarahan itu mengakibatkan munculnya perkataan dan perbuatannya yang tidak diperbolehkan karena takwil atau ijtihadnya maka perkataan dan perbuatan itu dimaafkan, sebagaimana perkataan Umar bin Khathab kepada Nabi shallallahu alaihi wa Sallam tentang Khatib bin Abi Balta’ah “Sesungguh dia orang munafik.” HR: Bukhari: 3007, dan Muslim: 4/1941. Dan protes Umar bin Khathab radhiyallahu anhu kepada Nabi shallallahu alaihi wa yang terdapat dalam kisah perjanjian Hudaibiyah. HR: Bukhari: 2731-2732 dan yang semisalnya (semua dimaafkan). Hal itu berbeda jika dilakukan karena hawa nafsunya dan semata-mata untuk kepentingan pribadi, maka tetap akan tetap akan mendapat hukuman akibat perkataan dan perbuatan yang terlarang.
Abu Layla Turahmin, M.H.
Bantul Yogyakarta, Senin, 21 Juli 2025.