# Mandhumah Qowaid Fiqih Syaikh As-sa’di Syarah 16 “Hukum Adat” #

5 Pembaca

وَالْأَصْلُ فِيْ عَادَتِنَا الْإِبَاحَهْ

حَتَّى يَجِيْءَ صَارِفُ الْإِبَاحَه

وَلَيْسَ مَشْرُوْعًا مِنَ الْأُمُوْر

غَيْرُ الَّذِيْ فِيْ شَرْعِنَا مَذْكُوْر

(Hukum) asal adat kita diperbolehkan

Sampai datang sesuatu yang memalingkan dari diperbolehkan

Sesuatu itu tidaklah disyariatkan

Selain yang disebutkan dalam syariat kita

Penjelasan:

Kedua kaidah ini disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 29/16-18), Beliau menyebutkan kaidah pokok yang menjadi dasar bagi Imam Ahmad dalam membangun madzhabnya,

“Hukum asal adat adalah diperbolehkan, tidak ada adat yang diharamkan kecuali jika ada (dalil) yang mengharamkannya dan hukum asal ibadah adalah haram, tidak diyariatkan kecuali apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.”

Adat adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusiam seperti: makanan, minuman, jenis pakaian, bepergian, kembali ke rumah dan seluruh kegiatan yang biasa dilakukan manusia hukum asalnya tidak diharamkan dan boleh dilakukan kecuali sesuatu yang memang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Baik larangan tersebut berupa nash secara jelas, masuk dalam keumuman larangan atau larangan tersebut dengan qiyas yang shahih. Jika tidak ada larangannya maka semua adat halal dan boleh dikerjakanm dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا. سورة البقرة: 29ز

Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu.” QS: al-baqarah; 29.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan semua yang ada di dunia ini untuk kita, agar kita memanfaatkannya dengan cara apapun yang penting sesuai ketentuan syariat Islam.

Adapun ibadah: Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia tujuan utamanya supaya mereka beribadah kepada-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan tata cara ibadah yang dapat digunakan untuk beribadah kepada-nya di dalam kitab-Nya (al-Quran) dan melalui lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Dia memerintahkan agar dalam beribadah disertai niat ikhlas hanya mengharapakan pahala dari-Nya, sehingga orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan ibadah tersebut dan dilakukan ikhlas karena-Nya maka amalannya maqbul (diterima), adapaun jika orang tersebut mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara yang tidak disyariatkan maka amalannya tertolak, tidak diterima, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak”. HR: Bukori dan Muslim.

Pelakunya masuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ. سورة الشورى: 21

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang menetapkan bagi mereka aturan agama yang tidak diizinkan (diridai) oleh Allah? QS: asy-Syuro: 21.

Abu Layla Turahmin, M.H.

Bantul, Yogyakarta, Rabu 16 Juli 2025.

Tinggalkan komentar