وَتَرْجِعُ الْأَحْكَامُ لِلْيَقِيْنِ
فَلَا يُزِيْلُ الشَّكُّ لِلْيَقِيْنِ
Setiap hukum kembali kepada keyakinan
Sehingga keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan
Penjelasan:
Makna kaidah ini adalah jika seseorang telah melakukan sesuatu kemudian muncul perasaan ragu apakah sesuatu yang telah dikerjakan tersebut masih ada padanya atau tidak? Maka hukum asal sesuatu itu masih ada padanya, sehingga yang harus dilakukan adalah mengembalikan sesuatu itu ke hukum asalnya yaitu sesuatu itu masih melekat padanya.
Jika seseorang merasa ragu terhadap seorang wanita apakah dia sudah menikahinya atau belum? maka dia tidak boleh mencampurinya karena hukumnya dibawa kepada hukum asal yaitu wanita tersebut haram baginya, sehingga dia tidak boleh mencampurinya karena hukum asalnya dia belum menikahinya.
Jika seorang laki-laki ragu terhadap istrinya apakah dia sudah menceraikannya atau belum? maka hukumnya dibawa ke hukum asal yaitu wanita itu masih menjadi istrinya dan belum diceraikan, dia boleh mencampurinya karena hukum asalnya wanita itu telah dinikahinya dan telah sah menjadi istrinya.
Jika seseorang merasa ragu apakah dia sudah batal wudhunya atau belum setelah sebelumnya merasa yakin bahwa dia telah berwudhu, atau sebaliknya jika dia merasa ragu apakah sudah berwudhu atau belum dan sebelumnya yakin belum berwudhu maka hukumnya dikembalikan ke hukum asal.
“Jika seseorang sudah berwudhu kemudian muncul keraguan apakah wudhunya sudah batal atau belum maka hukumnya dikembalikan kepada hukum masih suci karena sebelumnya yakin telah berwudhu, demikian juga jika seseorang belum berwudhu kemudian muncul keraguan apakah sudah suci atau belum, maka dikembaliakn ke hukum asal yaitu belum berwudhu, sehingga ketika hendak mengerjakan shalat dia harus berwudhu terlebih dahulu.”
Demikian juga jika seseorang merasa ragu tentang jumlah rekaat shalat, jumlah putaran thawaf, jumlah sa’i, jumlah melempar jumrah atau ibadah lainnya maka hukumnya dikembalikan ke hukum asal yang diyakini sebelumnya.
Kaidah ini bukan hanya khusus dalam permasalahan hukum fikih saja tapi juga masuk ke dalam setiap kejadian, hukum asalnya kejadian itu tidak ada sampai benar-benar yakin bahwa kejadian itu sudah benar-benar terjadi.
Sebagaimana yang pernah kita katakan bahwa asalnya tidak ada hukum sesuatu bagi seorang mukalaf hingga ada sesuatu yang menunjukkan bahwa dia telah melakukannya.
Hukum asal sebuah lafadz dibawa maknanya kepada makna hakekat bukan dibawa ke makna majas, hukum asal perintah menunjukkan wajib, hukum asal larangan menunjukkan haram, hukum asal umum tetaplah umum sampai benar-benar ada yang mengkhususkannya, dan hukum asal nash sesuai dengan nash tersebut sampai ada dalil yang menghapus hukum yang terdapat dalam nash tersebut.
Karena begitu tingginya kaidah ini maka istishhab menjadi sebuah hujjah, dan segala sesuatu yang dibangun di atas kaidah ini tidak perlu dituntut dalilnya apa, karena sandaran hukumnya berdasarkan istishhab. Sebagaimana orang yang tertuduh dalam masalah tuduhan, dia tidak dituntut untuk menunjukkan bukti dalam masalah yang tidak dilakukan, cukup mengingkarinya dengan bersumpah.
Ketika hukum itu kembali kepada hukum asal, sampai benar-benar yakin bahwa hukum asalnya itu tidak ada, maka dibutuhkan untuk menyebutkan bahwa asal segala sesuatu jika muncul keraguan di dalamnya dikembalikan kepada hukum asal sesuatu itu.
Pent. Abu LAyla Turahmin, M.H.
Bantul, Yogyakarta, Rabu 16 Juli 2025.