# Mandhumah Qowaid Fiqih Syaikh As-sa’di Syarah 11 “Jika Tidak Mampu Maka Tidak Wajib Dikerjakan” #

12 Pembaca

وَلَيْسَ وَاجِبٌ بِلَا اقْتِدَارِ

وَلَا مُحَرَّمٌ مَعَ اضْطِرَارِ

Tidak wajib dikerjakan jika tidak mampu

Dan tidak diharamkan ketika dalam kondisi darurat

Penjelasan:

Kedua kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan imam-imam lainnya, para alim ulama telah sepakat dengan kedua kaidah ini.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan perkara-perkara yang fardhu kepada hamba-hamba-Nya dan telah mengharamkan perkara-perkara yang haram. Jika seorang hamba tidak mampu dan tidak memiliki kekuatan untuk melaksanakan perintah Allah subhnahu wa ta’ala yang telah ditetapkan kepadanya maka orang tersebut tidak wajib melaksanakan perkara yang tidak mampu dkerjakannya itu, bahkan kewajiban tersebut gugur darinya, meskipun demikian jika sebelumnya dia selalu melaksanakan amalan tersebut kemudian suatu saat tidak mampu melaksanakannya karena ada udzur dia tetap mendapat pahala amalan itu meskipun tidak dikerjakan. Hal ini merupakan karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.

Demikian juga Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan perkara-perkara yang haram bagi hamba-hambanya sebagai bentuk benteng dan penjagaan bagi kemaslahatan mereka, serta menjadikan perkara yang makruh sebagai alternatif dari pada melakukan perkara yang haram. Meskipun demikian jika seseorang dalam kondisi terpaksa mau tidak mau harus melakukan perkara yang haram karena jika tidak melakukannya di akan binasa maka perkara tersebut boleh dikerjakan.

“Keadaan darurat menyebabkan diperbolehkannya perkara yang sebelumnya diharamkan”

Seperti: bolehnya makan bangkai dan minum air najis ketika dalam kondisi sangat terpaksa dan darurat. Demikian juga diperbolehkan melakukan perkara-perkara yang dilarang ketika haji pada saat dalam kondisi darurat yang mau tidak mau perkara tersebut harus dilakukan. Tapi perlu diingat bahwa diperbolehkannya melakukan perkara yang haram dalam kondisi darurat hanya secukupnya, sekedar untuk menghilangkan keadaan darurat itu dan tidak boleh berlebihan, Jika sudah cukup dan kondisi darurat itu sudah hilang perkara tersebut kembali menjadi haram baginya.

Pent. Abu Layla Turahmin, M.H.

Bantul, Yogyakarta, Selasa 15 Juli 2025.

Tinggalkan komentar